Minggu, 14 November 2010

Sistem Pendidikan Jarak Jauh (Distance Learning)

Sistem pembelajaran jarak jauh merupakan suatu metode instruksional antara guru dan siswa untuk memberikan kesempatan belajar tanpa dibatasi oleh kendala waktu, ruang dan tempat serta keterbatasan sistem pendidikan tradisional (Eileen dalam Ali, 2007). Pada sistem pembelajaran jarak jauh, siswa tidak perlu hadir dalam kelas, mendengarkan pengajar mengajar, dan seterusnya, tetapi cukup belajar di mana saja, mengerjakan soal-soal latihan seperti yang terjadi pada metode pembelajaran tradisional. Interaksi antara guru dan siswa masih tetap berlangsung dengan media yang memungkinkan interaksi tersebut terjadi.


Seringkali belajar jarak jauh diartikan sama dengan pendidikan jarak jauh. Sebenarnya hal ini kurang tepat karena pada dasarnya belajar jarak jauh merupakan hasil dari proses pendidikan jarak jauh. Belajar jarak jauh lebih menekankan kepada bagaimana seorang siswa dapat belajar dengan baik tanpa terhalang oleh batasan jarak dan waktu. Sedangkan, pendidikan jarak jauh menekankan kepada bagaimana suatu proses pengajaran yang dilakukan oleh pengajar dapat diterima oleh pelajar dengan baik tanpa terhalang oleh batasan jarak (Eileen dalam Ali, 2007).

Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), yang dimaksud dengan Pendidikan Jarak Jauh (PPJ) adalah pendidikan yang pesertanya didiknya terpisah dari pendidik dan pembelajarannya menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi komunikasi, informasi, dan media lainnya. Soekartawi (2003) memberikan ciri-ciri yang lebih spesifik dari PJJ yaitu sebagai berikut.
  1. Kegiatan belajar terpisah dengan kegiatan pembelajaran.
  2. Selama proses belajar siswa selaku peserta didik dan guru selaku pendidik terpisahkan oleh tempat, jarak geografis dan waktu atau kombinasi dari ketiganya.
  3. Siswa dan guru terpisah selama pembelajaran, komunikasi diantara keduanya dibantu dengan media pembelajaran, baik media cetak (bahan ajar berupa modul) maupun media elektronik (CD-ROM, VCD, telepon, radio, video, televisi, komputer). 
  4. Jasa pelayanan disediakan baik untuk siswa maupun untuk guru, misalnya resource learning center atau pusat sumber belajar, bahan ajar, infrastruktur pembelajaran). Dengan demikian, baik siswa maupun guru tidak harus mengusahakan sendiri keperluan dalam proses pembelajaran. 
  5. Komunikasi antara siswa dan guru bisa dilakukan baik melalui satu arah maupun dua arah (two ways communication). Contoh komunikasi dua arah ini, misalnya tele-conferencing, video-conferencing, e-moderating). 
  6. Proses pembelajaran di PJJ masih dimungkinkan dengan melakukan pertemuan tatap muka (tutorial) dan ini bukan merupakan suatu keharusan..  
  7. Selama kegiatan belajar, siswa cenderung membentuk kelompok belajar, walaupun sifatnya tidak tetap dan tidak wajib. Kegiatan berkelompok diperlukan untuk memudahkan siswa belajar. 
  8. Peran guru lebih bersifat sebagai fasilitator dan siswa bertindak sebagai participant.

Lembar Kerja Siswa (LKS) Terstruktur

Direktorat Menengah Umum (dalam Suwarti, 1998) mengatakan bahwa Lembar Kerja Siswa (LKS) adalah suatu lembaran yang berisikan sejumlah informasi serta instruksi yang ditujukan untuk mengarahkan siswa bertingkah laku sebagaimana yang diharapkan oleh guru. LKS yang baik adalah LKS yang mampu menjadikan siswa mempunyai keinginan untuk beraktivitas sesuai dengan instruksi. Pada dasarnya LKS sangat tepat digunakan untuk menjadikan siswa bekerja secara mandiri. Selain itu, melalui LKS siswa akan mampu mengingat suatu konsep lebih lama bahkan permanen karena konsep tersebut diperolehnya melalui keterlibatan mental atau berpikir mandiri.
Adapun unsur-unsur LKS menurut Ardana (2000) yaitu sebagai berikut.
  1. Materi pokok yang akan dibicarakan.
  2. Tujuan pembelajaran untuk topik yang akan dibicarakan.
  3. Beberapa pertanyaan dan langkah-langkah yang mungkin dapat dilakukan untuk menggali prakonsepsi siswa (pengetahuan yang terkait dengan yang dibicarakan).
  4. Beberapa pertanyaan yang mengaitkan prakonsepsi mereka dengan konsep yang akan diuji.
  5. Beberapa pertanyaan yang dapat membantu siswa, sehingga siswa mampu membuat hubungan antar ide-ide matematis dan hubungan antar pengetahuan konseptual dan prosedural.
  6. Beberapa soal latihan sebagai bahan dalam aplikasi konsep.
Penyelenggara Pemantapan Kerja Guru Matematika (dalam Supriadin, 2003) menyatakan bahwa dalam pembelajaran matematika, LKS mempunyai empat fungsi sebagai berikut.

Sebagai Kegiatan Latihan
LKS dapat digunakan sebagai sarana latihan bagi siswa yang dapat membantu siswa memahami materi. Semakin sering latihan, siswa semakin ingat dengan konsep-konsep yang digunakan untuk menyelesaikan tugas pada LKS.

Untuk Kegiatan Diskusi
Permasalahan yang terdapat pada LKS digunakan siswa untuk kegiatan diskusi dalam kelompok kecil yang dibentuk oleh guru atas kesepakatan dengan siswa. Interaksi antara siswa dengan guru dan siswa lainnya menyebabkan proses pembelajaran menjadi lebih dinamis. Sejalan dengan hal tersebut, interaksi multi arah akan dapat mengoptimalkan proses pembelajaran.

Untuk Penemuan
Dalam LKS siswa dibimbing untuk menyelidiki suatu situasi atau keadaan tertentu agar menemukan pola situasi tersebut, sehingga dapat membuat suatu hipotesa, prakiraan atau dugaan.

Untuk Penerapan
Melalui LKS, siswa dibimbing menuju suatu metode penyelesaian soal dengan menggunakan konsep-konsep yang dimiliki siswa. Hal ini akan berguna untuk soal aplikasi yang memerlukan banyak langkah atau menerangkan gambar.

Adapun peranan LKS bagi guru menurut Pemantapan Kerja Guru Matematika (dalam Supriadin, 2003) adalah sebagai berikut.
  1. Merupakan alternatif bagi guru untuk mengarahkan pengajaran atau memperkenalkan suatu kegiatan tertentu.
  2. Dapat mempercepat proses pembelajaran.
  3. Dapat disiapkan sewaktu jam bebas sebelum memasuki kelas serta dapat dibagikan secara cepat kepada siswa untuk dapat segera dipelajari.
  4. Dapat memudahkan penyelesaian tugas perorangan atau kelompok kecil karena siswa dalam menyelesaikan tugas itu sesuai dengan kecepatannya karena tidak setiap siswa dapat memahami keadaan itu pada setiap keadaan dan waktu yang sama.
  5. Dapat meringankan kerja guru dalam memberi bantuan perorangan atau melakukan remidial untuk pengolahan kelas besar.
Sedangkan peranan LKS bagi siswa menurut Pemantapan Kerja Guru Matematika (dalam Supriadin, 2003) adalah sebagai berikut.

Dapat Membangkitkan Minat Siswa
Jika LKS disusun secara menarik seperti tulisannya yang sistematis, berwarna dan bergambar maka akan dapat meningkatkan minat siswa untuk mengerjakannya.

Sebagai Pembimbing Siswa
Menurut Suwarti (dalam Deyanti, 2008), setiap siswa yang mengerjakan tugas dengn menggunakan LKS akan lebih berhasil dibandingkan dengan siswa yang tidak menggunakan LKS. Oleh karena itu, agar siswa menjadi terbimbing dan memperoleh hasil belajar yang maksimal maka perlu diarahkan dengan menggunakan LKS.

Pujawan (dalam Deyanti, 2008) menyebutkan mengenai pembagian LKS menjadi dua, yaitu sebagai berikut.

LKS Tak Terstruktur
LKS tak terstruktur adalah lembaran sarana untuk menunjang materi pembelajaran sebagai sumber kegiatan belajar siswa yang dipakai guru untuk menyampaikan pembelajaran. Lembar kerja ini dapat dipakai untuk mempercepat proses pengajaran, memberi dorongan belajar tiap individu atau melengkapi materi pelajaran buku paket dan dapat berisi peunjuk tertulis atau digunakan dengan pengarahan.

LKS Terstruktur
LKS terstruktur adalah lembar kerja yang dirancang untuk membimbing siswa dalam suatu program kerja pelajaran dengan sedikit bantuan guru untuk mencapai sasaran yang dituju dalam pembelajaran tersebut. LKS terstruktur dilengkapi dengan petunjuk dan pengarahan tetapi tidak dapat menggantikan peranan guru. Artinya, secara keseluruhan guru masih memegang peranan dalam pelaksanaan dan perencaan mengajar yang sudah dipersiapkan sebelumnya yaitu menyangkut kegiatan utama seperti memberi rangsangan, bimbingan, pengarahan serta dorongan.

Adapun tujuan LKS terstruktur menurut Penyelenggaraan Pemantapan Kerja Guru Matematika (dalam Widyastiti, 2007) adalah sebagai berikut.
  • Merupakan alternatif bagi guru untuk memantapkan pemahaman siswa dalam mengarahkan kegiatan belajar siswa dan memperkenalkan suatu definisi, konsep, prinsip, dan keterampilan.
  • Dapat mempercepat proses pembelajaran dengan azas pelaksanaan efektifitas dan efisiensi.
  • Melatih daya pikir siswa agar penguasaanya lebih mantap dalam mempelajari materi pelajaran.
Menurut Penyelenggaraan Pemantapan Kerja Guru Matematika SLU (dalam Widyastiti, 2007) LKS terstruktur mempunyai beberapa kelebihan, diantaranya sebagai berikut.
  • Situasi kelas dapat dikuasai oleh guru, karena guru tidak membelakangi siswa.
  • Meringankan kerja guru dalam memberikan bantuan kepada siswa secara perorangan.
  • Dalam memberikan respon secara cepat, sehingga guru secepat mungkin dapat memprediksi tingkat ketuntasan siswa terhadap pemahaman suatu materi pelajaran.
  • Dapat mengoptimalkan konsentrasi berpikir siswa, karena situasi yang diamati sangat dekat.
  • Dapat mengoptimalkan aktivitas interaksi dan latihan pemahaman dalam menyelesaikan latihan soal-soal.
  • Memerlukan waktu yang relatif singkat dalam membagikan lembar kegiatan.
Dengan demikian, melalui penggunaan LKS terstruktur siswa akan termotivasi untuk menemukan sendiri konsep matematika karena dengan LKS terstruktur siswa diberikan bimbingan. Selain itu, siswa juga dilatih untuk berpikir lebih tersruktur atau sistematis.

Prestasi Belajar Siswa

Istilah hasil belajar berasal dari bahasa Belanda “prestatie,” dalam bahasa Indonesia menjadi prestasi yang berarti hasil usaha. Dalam literatur, prestasi selalu dihubungkan dengan aktivitas tertentu, seperti dikemukakan oleh Robert M. Gagne (1988:65) bahwa dalam setiap proses akan selalu terdapat hasil nyata yang dapat diukur dan dinyatakan sebagai hasil belajar (achievement) seseorang.

Prestasi belajar dapat diartikan sebagai hasil yang dicapai oleh individu setelah mengalami suatu proses belajar dalam jangka waktu tertentu. Prestasi belajar juga diartikan sebagai kemampuan maksimal yang dicapai seseorang dalam suatu usaha yang menghasilkan pengetahuan atau nilai kecakapan.

Lebih lanjut, Nurkancana dan Sunartana (1992) mengatakan bahwa prestasi belajar dapat disebut sebagai kecakapan aktual (actual ability) yang diperoleh seseorang setelah belajar, suatu kecakapan potensial (potensial ability) yaitu kemampuan dasar yang berupa disposisi yang dimiliki oleh individu untuk mencapai prestasi. Kecakapan aktual dan kecakapan potensial ini dapat dimasukkan kedalam suatu istilah yang lebih umum yaitu kemampuan (ability).     Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar dapat diartikan sebagai hasil yang dicapai oleh siswa setelah siswa yang bersangkutan mengalami suatu proses belajar di sekolah dalam jangka waktu tertentu. Prestasi belajar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kecakapan nyata (actual) bukan kecakapan potensial. Prestasi belajar untuk kecakapan nyata dapat dilihat berupa nilai setelah mengerjakan suatu tes. Tes yang digunakan untuk menentukan prestasi belajar merupakan suatu alat untuk mengukur aspek - aspek tertentu dari siswa misalnya pengetahuan, pemahaman atau aplikasi suatu konsep.

Menurut Nila Parta (2005), prestasi siswa pada mata pelajaran matematika dipengaruhi oleh faktor dalam diri siswa yang meliputi IQ, motivasi, minat, bakat, kesehatan, dan faktor luar siswa yang belajar yang meliputi guru pengajar, materi ajar, latihan, sarana kelengkapan belajar siswa, tempat di sekolah atau di rumah serta di lingkungan sosial siswa.

Terdapat dua faktor yang mempengaruhi prestasi belajar, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang dimaksud yaitu : 1) faktor fisiologis baik yang bersifat bawaan maupun yang diperoleh dari pengalaman, 2) faktor psikologis seperti intelegensi, bakat, sikap, minat, kebiasaan, kebutuhan, motivasi, konsep diri, penyesuaian diri, emosi, dan sebagainya, 3) faktor kematangan baik fisik maupun psikologis. Sedangkan, faktor eksternal yang dimaksud yaitu : 1) faktor sosial yang terdiri dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat, dan lingkungan sebaya, 2) faktor budaya seperti adat istiadat, ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian, 3) lingkungan fisik seperti fasilitas rumah, dan fasilitas belajar (Suwarini, 2007).

Fungsi dari prestasi belajar menurut Zainal Arifin (dalam Suasa, 1997) menyebutkan bahwa : 1) prestasi belajar merupakan lambang pemuasan hasrat ingin tahu, 2) prestasi belajar merupakan indikator kualitas dan kuantitas pengetahuan yang telah dikuasai anak didik, 3) prestasi belajar dapat dijadikan pendorong bagi siswa dalam meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan berperan sebagai umpan balik dalam meningkatkan mutu pendidikan, 4) prestasi belajar dapat dijadikan sebagai indikator intern dan ekstern dari suatu institusi pendidikan, dan 5) prestasi belajar dapat dijadikan indikator terhadap daya serap anak didik.
Dari uraian di atas, prestasi belajar dipandang perlu diketahui karena prestasi belajar sebagai indikator keberhasilan suatu bidang studi dan juga indikator kualitas dari suatu institusi pendidikan.

Motivasi Belajar Siswa

Motivasi merupakan satu unsur yang penting dari pengajaran efektif atau pengajaran yang berhasil (Nur, 2003). Hudojo (1998:3) mengemukakan bahwa, motivasi adalah kekuatan pendorong yang ada dalam diri seseorang untuk melakukan aktivitas tertentu untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan, Sardiman (1986:75) mengemukakan bahwa, motivasi belajar adalah keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki dari subyek belajar dapat dicapai.

Jika ditinjau dari sumbernya, motivasi terdiri atas dua bagian, yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ektrinsik. Motivasi intrinsik adalah motivasi yang timbul dari dalam diri orang yang bersangkutan tanpa rangsangan dari luar. Kegiatan dimulai dan dilaksanakan karena adanya dorongan yang langsung berkaitan dengan kegiatan tersebut. Sedangkan, motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang timbul akibat adanya rangsangan dari luar.

Ciri-ciri seseorang memiliki motivasi adalah tekun menghadapi tugas, ulet menghadapi kesulitan, menunjukkan minat terhadap bermacam-macam masalah, lebih sering bekerja sendiri, cepat bosan terhadap tugas-tugas rutin, dapat mempertahankan pendapat, tidak mudah melepaskan hal yang diyakini, serta sering membaca dan memecahkan berbagai masalah (Sardiman, 1986).

Motivasi memegang peranan penting dalam belajar. Adanya motivasi yang baik akan memberikan hasil yang baik dalam belajar. Untuk dapat memberikan pengaruh kepada siswa agar termotivasi dalam belajar, guru perlu memperhatikan beberapa hal yang dapat mempengaruhi motivasi siswa. Menurut Mulyasa (dalam Pujawan, dkk, 2007), ada beberapa prinsip yang dapat digunakan untuk meningkatkan motivasi belajar siswa, yaitu :
  1. Topik yang dipaparkan hendaknya menarik dan berguna bagi siswa.
  2. Tujuan pembelajaran hendaknya dirumuskan secara jelas dan diinformasikan kepada siswa.
  3. Siswa hendaknya selalu diberi tahu tentang prestasi belajar mereka.
  4. Memberikan pujian dan hadiah lebih baik daripada hukuman, namun sewaktu-waktu hukuman juga diperlukan.
  5. Manfaatkan sikap, cita-cita, dan rasa ingin tahu siswa. 
  6. Usahakan memperhatikan perbedaan siswa, seperti perbedaan bakat, kemampuan, latar belakang, dan sosial ekonomi.
  7. Usahakan untuk memenuhi kebutuhan siswa dengan cara memperhatikan kondisi siswa.

Strategi Pembelajaran Blended Learning

Blended learning merupakan strategi pembelajaran yang mengintegrasikan pembelajaran tradisional tatap muka dan pembelajaran jarak jauh yang menggunakan sumber belajar online dan beragam pilihan komunikasi yang dapat digunakan oleh guru dan siswa (Harding, Kaczynski dan Wood, 2005). Kurtus (2004) menyatakan bahwa “blended learning is a mixture of the various learning strategies and delivery methods that will optimize the learning experience of the user”. Hal tersebut menyatakan bahwa blended learning adalah campuran dari berbagai strategi pembelajaran dan metode penyampaian yang akan mengoptimalkan pengalaman belajar bagi penggunanya. Pelaksanaan strategi ini memungkinkan penggunaan sumber belajar online, terutama yang berbasis web/blog, tanpa meninggalkan kegiatan tatap muka (Elliot, 2002).


Blended learning is a hybrid of traditional face-to-face and online learning so that instruction occurs both in the classroom and online, and where the online component becomes a natural extension of traditional classroom learning. Blended learning is thus a flexible approach to course design that supports the blending of different times and places for learning, offering some of the conveniences of fully online courses without the complete loss of face-to-face contact”.

Menurut Colis dan Moonen (2001) seperti yang dikemukakan di atas, blended learning adalah campuran dari pembelajaran tatap muka dan pembelajaran online, sehingga memungkinkan pembelajaran tidak hanya terjadi di kelas saja namun juga dapat dilakukan di luar kelas. Ini menunjukkan bahwa blended learning merupakan pendekatan yang fleksibel untuk merancang program yang mendukung dan tidak tergantung oleh waktu dan tempat untuk belajar. Pembelajaran ini menawarkan beberapa kemudahan karena pembelajaran online tidak sepenuhnya menghilangkan pembelajaran tatap muka. Pembelajaran dengan blended learning ini akan lebih bermakna karena didukung oleh keragaman sumber belajar yang dapat diperoleh melalui internet. Strategi pembelajaran blended learning diterapkan atas asumsi bahwa tidak ada kelebihan mutlak dari metode tatap muka langsung maupun belajar online karena masing-masing tentu memiliki kekurangan dan kelebihan.

Selama ini, metode tatap muka masih menjadi cara terbaik untuk kegiatan pembelajaran (Damajanti Kusuma Dewi, 2008). Kelebihan utamanya adalah kuatnya interaksi antara guru dan peserta didik yang dapat menghadirkan lingkungan ideal untuk belajar. Kelemahannya adalah tidak setiap individu memiliki gaya dan kecepatan serta kebutuhan belajar yang sama. Sementara itu, pembelajaran online memiliki kelebihan dalam kekayaan sumber belajar yang diberikan, dimana guru dan peserta didik dapat mencapai sumber-sumber belajar yang sangat luas. Pembelajaran ini juga memiliki kelemahan yaitu tidak adanya interaksi langsung antara guru dan siswa. Hal ini menyebabkan unsur-unsur non verbal dalam interaksi tidak tersampaikan secara sempurna (Graham, C., Allen, S., & Ure, D, 2005).

Strategi pembelajaran blended learning diterapkan guru karena tidak semua peserta didik mampu mengikuti pembelajaran online. Selain itu, guru juga dapat memberikan perhatian lebih pada siswa yang lemah, sehingga kualitas pembelajaran akan lebih maksimal. Beberapa guru menerapkan strategi pembelajaran blended learning untuk mengurangi kegiatan tatap muka dan mengalihkannya pada pembelajaran online apabila dalam pembelajaran banyak siswa tidak hadir pada metode tatap muka.

Masing-masing siswa mempunyai gaya dan kecepatan belajar yang berbeda-beda. Dalam kegiatan pembelajaran tatap muka, ada siswa yang cepat dalam menyerap materi, adapula yang membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan lainnya. Dengan strategi pembelajaran blended learning, peserta didik yang membutuhkan waktu lebih lama dalam menyerap materi dapat mempelajari kembali dengan mengakses secara online. Kemungkinan untuk menghadirkan pembelajaran dalam bentuk teks, gambar (diam maupun gerak) serta suara yang seringkali tidak bisa dilaksanakan dalam tatap muka akan memberikan kemudahan dalam penyerapan materi dengan lebih baik melalui pebelajaran online.

Strategi pembelajaran blended learning mengkombinasikan secara arif, relevan, dan tepat antara potensi face to face dengan potensi teknologi informasi dan komunikasi yang demikian pesat berkembang saat ini, sehingga memungkinkan terjadinya :
  1. Pergeseran paradigma pembelajaran dari yang dulunya berpusat pada guru menuju paradigma baru yang berpusat pada siswa (student centered).
  2. Peningkatan interaksi antara siswa dengan guru, siswa dengan siswa, siswa/guru dengan sumber belajar lainnya.
  3. Konvergensi antara berbagai metode, media sumber belajar serta lingkungan belajar lain yang relevan.
Terdapat beberapa bentuk kontinum strategi blended learning, diantaranya sebagai berikut. Pertama, kebanyakan online penuh, tetapi ada beberapa hari tertentu dilakukan face to face baik di kelas atau di laboratorium komputer. Kedua, kebanyakan online penuh, tetapi siswa tetap belajar secara tatap muka dalam kelas atau laboratorium komputer setiap hari. Ketiga, kebanyakan belajar tatap muka di kelas atau laboratorium komputer, tetapi siswa dipersyaratkan mengikuti aktivitas online tertentu sebagai pengayaan atau tambahan. Kontinum itulah yang dapat dikembangkan dalam penerapan strategi pembelajaran blended learning. Untuk menyeimbangkan antara pembelajaran tatap muka dan pembelajaran online, guru dapat menerapkan strategi pembelajaran blended learning secara merata. Misalnya dalam satu minggu ada dua pertemuan, pertemuan pertama guru dapat menerapkan pembelajaran tatap muka dan pertemuan berikutnya guru dapat menerapkan pembelajaran online atau sebaliknya (Mohamad Noer, 2010).

Pembelajaran Matematika Menurut Pandangan Konstruktivis

Menurut Doolitle dan Camp (dalam Rochmad, 2008) inti dari pandangan konstruktivis adalah siswa aktif memahami dan membangun pengetahuan sendiri berdasar pengalamannya. Konstruktivis juga dapat diartikan sebagai suatu pandangan dalam memperoleh pemahaman terhadap suatu pengetahuan yang dilakukan dengan cara aktif mengkontruksi pengetahuan sendiri berdasarkan pengalaman orang itu sendiri. Untuk mengkonstruksi pengetahuan tersebut dapat dilakukan secara mandiri atau melalui interaksi sosial.

Grows (dalam Ardana, dkk, 2000) berpendapat bahwa pembelajaran matematika menurut pandangan konstruktivis dapat membantu siswa untuk membangun konsep-konsep atau prinsip-prinsip matematika dengan kemampuannya sendiri melalui proses internalisasi, sehingga dengan konsep atau prinsip itu akan terbangun kembali transformasi informasi yang diperoleh menjadi konsep atau prinsip baru. Paham konstruktivisme memandang proses pendidikan bukan sebagai upaya mentransfer pengetahuan kepada anak didik. Hal itu dikarenakan, setiap individu memiliki pengetahuan awal, minat, strategi, dan proses kognitif yang berbeda, sehingga suatu informasi yang sama belum tentu dipersepsi sama oleh semua individu. Pengetahuan bukan sesuatu yang diserap secara pasif oleh seorang siswa, melainkan sesuatu yang diciptakan secara aktif oleh siswa.

Peran guru di sini adalah membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya. Pembelajaran dengan filosofi konstruktivisme mengutamakan peran siswa serta mengutamakan pembentukan pengetahuan pada diri siswa. Dengan dibiasakannya siswa berpikir mandiri dan mempertanggungjawabkan pemikirannya, siswa terlatih untuk menjadi pribadi yang mandiri, kritis, kreatif, dan rasional. Untuk itu, pengetahuan harus dibangun oleh peserta didik secara mandiri berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Dalam pandangan konstruktivis, strategi memperoleh lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyaknya peserta didik memperoleh dan mengingat pengetahuan. Untuk itu tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi peserta didik, memberikan kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri dan menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.

Adapun mekanisme belajar menurut pandangan konstruktivis yaitu mengikuti tahapan-tahapan sebagai berikut.
  1. Siswa secara aktif mengamati dan memiliki beberapa masukan sensori dalam lingkungannya.
  2. Pengetahuan awal (prior knowledge) siswa sangat berpengaruh dalam menentukan masukan sensori yang akan diikuti dan dipilihnya.
  3. Masukan sensori baru yang diikuti dan dipilihnya tidak segera mempunyai makna bagi siswa.
  4. Siswa  menyusun hubungan-hubungan antara masukan sensori baru dan ide-ide yang telah ada pada dirinya yang dipandang relevan.
  5. Siswa menkonstruksi makna dari hubungan-hubungan antara data sensori baru dan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.
  6. Siswa menguji makna-makna yang telah dibangun yang berlawanan dengan memori dan pengalaman yang dirasakan.
  7. Siswa mungkin memasukkan konstruksi-konsruksi baru kedalam salah satu memori dengan sadar menghubungkan pada gagasan-gagasan yang telah ada.
  8. Siswa akan meletakkan beberapa status pada konstruksi baru dan akan menolak atau menerimanya.
Tasker (dalam Subariyati, 2003:11)

Lebih spesifik, pembelajaran matematika dalam pandangan konstruktivis memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
  1. Siswa terlibat aktif dalam belajarnya, karena mereka belajar materi matematika secara bermakna dengan bekerja dan berpikir.
  2. Informasi baru harus dikaitkan dengan informasi lain, sehingga menyatu dengan skemata yang dimiliki siswa agar pemahaman terhadap informasi yang lebih kompleks terjadi.
  3. Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan.
Dengan demikian, belajar matematika menurut pandangan konstruktivis adalah suatu proses pembentukan pengetahuan melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh siswa selama kegiatan pembelajaran itu berlangsung. Agar kegiatan pembelajaran berlangsung secara efektif, guru sebagai fasilitator dituntut untuk bisa mengkondisikan pembelajaran secara maksimal, sehingga siswa mampu belajar sesuai dengan kemampuannya masing-masing.

Latar Belakang Masalah

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Depdiknas, 2003:2). Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), membuat jarak yang jauh bukan lagi menjadi penghalang dalam mengakses segala informasi dari berbagai negara di dunia. Individu yang mampu bersaing dan menyesuaikan diri pada era globalisasi ini adalah individu yang memiliki kompetensi handal dalam berbagai bidang kehidupan sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuannya.

Menciptakan individu yang memiliki kompetensi handal merupakan tugas dari dunia pendidikan. Sebagai salah satu bidang ilmu dalam dunia pendidikan, matematika merupakan salah satu bidang studi yang sangat penting bagi setiap individu dan bagi pengembangan ilmu yang lain. Melalui pendidikan matematika, individu akan dilatih berpikir kritis, sistematis, logis, dan kreatif, karena matematika memiliki struktur materi dengan keterkaitan yang kuat dan jelas satu dengan yang lainnya serta berpola pikir yang bersifat deduktif dan konsisten (Boediono, 2002).

Tantangan dan berbagai permasalahan dalam dunia pendidikan, dijawab oleh pemerintah melalui berbagai upaya peningkatan kualitas pendidikan. Diantaranya adalah menyusun dan menyempurnakan kurikulum pendidikan, peningkatan sarana dan prasarana, melaksanakan penataran guru, dan penerapan berbagai strategi pembelajaran. Salah satu upaya pemerintah yang dapat kita cermati sekarang ini adalah penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang mengharapkan guru menggunakan paradigma baru dalam pembelajaran yaitu paradigma student centered. Masalah pendidikan di Indonesia, yang sampai saat ini masih dirasakan adalah rendahnya kualitas pendidikan. Hal ini didukung oleh ditemukannya banyak siswa yang memperoleh angka hasil belajar rendah atau di bawah rata-rata yang telah ditetapkan (Dimyati dan Mudjiono, 2006:246). Sehubungan dengan hal itu, perlu diadakannya usaha untuk memperbaiki sistem pendidikan, dimana pendidikan hendaknya membekali siswa dengan berbagai kecakapan hidup dan kemampuan kreatif dalam memecahkan berbagai masalah serta menghadapi tantangan hidup yang semakin bersaing.

Permasalahan tersebut terjadi hampir di setiap jenjang pendidikan, seperti halnya yang  terjadi di SMP Negeri 4 Singaraja pada kelas VIII B4. Dari sumber yang penulis peroleh menunjukkan bahwa nilai mata pelajaran matematika masih jauh dari Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditetapkan sekolah, yaitu 70. Berdasarkan hasil observasi di kelas dan wawancara dengan Ni Made Swastini, S. Pd, salah seorang guru matematika yang mengajar di kelas VIII B4 dan beberapa siswa di kelas tersebut, terungkap beberapa permasalahan yang teridentifikasi sebagai penyebab belum optimalnya prestasi belajar matematika siswa. Hasil observasi di kelas dan wawancara menunjukkan bahwa : (1) hasil belajar masih tergolong rendah, (2) siswa tidak terbiasa belajar mandiri, (3) tugas yang diberikan pada siswa hanya berupa permasalahan atau soal-soal rutin, (4) siswa kurang terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran, karena guru jarang memberikan kesempatan kepada siswa untuk menampilkan hasil pekerjaannya di depan kelas, apakah tugas yang dibuatnya sudah benar atau salah, (5) rendahnya minat siswa untuk belajar matematika, dan (6) guru masih memfokuskan pembelajaran matematika pada upaya menuangkan materi pembelajaran kepada siswa melalui metode ceramah.

Berdasarkan uraian di atas, diduga bahwa motivasi dan prestasi matematika siswa kelas VIII B4 SMP Negeri 4 Singaraja masih rendah. Untuk lebih meyakinkan gambaran awal yang diperoleh, peneliti memberikan tes prestasi belajar berupa soal uraian dan angket motivasi belajar kepada siswa. Berdasarkan hasil tes awal yang diberikan kepada siswa, hanya 13 orang dari 35 orang siswa yang mengikuti tes berhasil memenuhi KKM. Dari hasil pekerjaan siswa, umumnya siswa masih kebingungan dalam memahami soal yang diberikan dan tidak tahu akan menggunakan konsep apa dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Siswa kurang mampu memaparkan  dengan bahasa mereka sendiri tentang konsep apa yang mereka gunakan untuk menyelesaikan permasalahan. Selain itu, siswa juga tampak malas dan murung untuk mengerjakan soal yang diberikan. Kebiasaan siswa bermain saat guru menerangkan atau mengerjakan tugas tentu menjadi salah satu penyebabnya, karena tidak mungkin siswa dapat memperoleh hasil yang baik apabila pikiran atau keinginan siswa untuk mengerjakan soal tidak ada.

Tidak bisa dipungkiri bahwa motivasi memiliki fungsi yang penting dalam pembelajaran. Fungsi motivasi adalah mendorong timbulnya tingkah laku atau perbuatan, sebagai pengarah untuk mencapai tujuan yang diinginkan, dan sebagai penggerak tingkah laku. Dengan kata lain, motivasi adalah usaha untuk menyediakan kondisi tertentu sehingga seseorang ingin melakukan sesuatu sesuai dengan tujuan yang diharapkan (Nasution, 1995). Jika dikaitkan dengan prestasi belajar, sudah tentu motivasi dan prestasi belajar memiliki hubungan yang erat. Motivasi berprestasi merupakan suatu harapan untuk memperoleh kepuasan dalam penguasaan perilaku, sehingga mencapai tujuan yang diinginkan (Mr. Clelland, 1955). Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan konkret antara motivasi dan prestasi, yaitu untuk memperoleh prestasi yang baik, tentu seseorang harus memiliki motivasi yang baik pula.

Terkait dengan rendahnya motivasi dan prestasi belajar siswa, dipandang perlu upaya perbaikan proses pembelajaran yaitu dengan menerapkan pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered). Salah satu alternatif pembelajaran dalam pandangan konstruktivis yang dapat diterapkan untuk meningkatkan keaktifan siswa adalah dengan menerapkan strategi pembelajaran blended learning. Sesuai namanya, blended learning adalah strategi pembelajaran yang memadukan pertemuan tatap muka dengan materi online secara harmonis (Mohamad Noer, 2010). Keuntungan yang diperoleh melalui penerapan strategi pembelajaran blended learning adalah meningkatkan pedagogi, meningkatkan akses, fleksibilitas, dan meningkatkan efektivitas biaya (Graham, Allen, & Ure, 2005).

Untuk mempermudah siswa menemukan konsep dalam pembelajaran matematika, peneliti akan memberikan LKS terstruktur kepada siswa. Tujuan LKS ini adalah membantu siswa untuk menemukan pola atau rumus-rumus dasar yang nantinya dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang terkait dengan matematika. Berdasarkan uraian sekaligus alasan di atas, peneliti menerapkan strategi pembelajaran blended learning untuk meningkatkan motivasi dan prestasi belajar matematika siswa kelas VIII B4 SMP Negeri 4 Singaraja.